Rabu, 22 Juni 2011

kh ahmad rifai diasingkan


sejarah Syeikh Hj.Ahmad Rifai (Guru besar Rifa.iyah)

Kiai Haji Ahmad Rifai dilahirkan
pada 9
Muharam 1200 H atau 1786 di desa
Tempuran Kabupaten Semarang
(saat
itu) dari pasangan suami isteri K.H.
Muhammad Marhum Bin Abi Sujak
Seorang Penghulu Landerad di
Kendal
dan Siti Rahmah, pada waktu usia
Beliau sekitar 6 tahun ayah Beliau wafat
(Semoga Allah Mengasihinya),
sehingg
a
Beliau mendapat sentuhan kasih
sayang
dari seorang ayah dalam waktu yang
singkat, yaitu selama 6 tahun.
pada
usianya yang begitu muda itu (6
tahun)
itu beliau (Ki Ahmad) sudah diasuh oleh kakaknya yang bernama Nyai
Rajiyah
istri Kiai As ’ari seoarang ulama pendiri dan pengasuh Pondok
Pesantren
Kaliwungu. Di sinilah Syekhina
belajar ilmu agama
kepada kiai As ’ari dan diamalkan melalui dakwah lisan dan tulisan
kepada
rakyat sekitarnya, sebelum
sampai
kesuksesannya menelurkan banyak
karya ilmiah yang sarat ilmu dan patriotisme serta cita-cita
kemerdekaan
yang justru menghadirkannya
pada suatu keadaan yang tidak
menguntungkan baginya dan bagi
kita (dampaknya sampai sekarang)
yaitu:
berpisah dengan keluarga dan
menikmati masa masa terakhir
hidup
dalam pengasingan meski sempat ada komunikasi lewat surat-
menyurat
dengan Maufuro tetapi setelah
ketahuan
Belanda hubungan benar-benar
putus dan para murid semakin terpojok
oleh
isolasi Belanda, kitab-kitab
banyak disita
Belanda dan sekarang cerita ini
hanya diketahui oleh beberapa orang saja
bahkan keturunan syeikhina
dijawa
tidak diketahui, tanah wakaf
dijarah
penduduk meski sebagian telah dibeli /
dimerdekakan oleh para Saudara
Rifaiyah yang semoga dimuliakan
Allah ( Aneh!!!!!!?!!) serta isu klasik
yang
menyerang para muridnya ditambah
tidak adanya regenarasi
menjadikan
kita minoritas kalah kuantitas
bahkan
mungkin kualitas. Beliau hidup dipengasingan sampai
ajalnya menjemputnya di Ambon
pada Kamis 25 Robiul Akhir 1286 H
(usia 86
tahun), ada riwayat lain yang
mengatakan beliau wafat pada 1292 H
(92 tahun, semoga yang ini benar,
karena itu berarti beliau panjang
umur)
di kampung Jawa Tondono
Kabupaten Minahasa, Manado Sulawesi Utara dan
dimakamkan di komplek makam
pahlawan Kiai Modjo di sebuah
bukit
yang terletak kurang lebih 1 km
dari kampung Jawa Tondano (Jaton)
mencari
ilmu ke Mekkah dan Mesir. Setelah
beberapa kali keluar masuk
penjara Kendal dan Semarang
karena dakwahnya tegas, dalam usia 30
tahun,
Ahmad Rifai berangkat ke Mekkah
untuk
menunaikan ibadah haji, ke
Madinah ziarah Makam Rosululloh SAW dan
memperdalam ilmu di sana selama
8
tahun. Dan kemudian di Mesir
selama 12
tahun. Di Haramain (Mekkah dan Madinah) ia berguru kepada Syaikh
Abdul Aziz Al Habisyi, Syaikh Ahmad
Ustman dan Syaikh Is Al -Barawi.
Sedang di Mesir ia berguru pada
Syaikh Ibrahim
Al Bajuri dan kawan-kawan. Pulang ke Kendal menjelang kembali ke
kampung halaman di Kendal, Kiai
Haji
Ahmad Rifai bertemu dengan
ulama-
ulama Indonesia di Mekkah , Nawawidari Banten, Muhammmad
Khallil dari Madura dan teman yang
lain. Dalam pertemuan itu, mereka
mengadakan musyawarah untuk
memikirkan nasib umat di
Indonesia yang sedang terbelenggu oleh
takhayul,
kufarat dan mistis. Bahkan
bangsa
Indonesia sedang dalam
cengkeraman Belanda hasil musyawarah yang
mereka sepakati bersama,
mengadakan
pembaharuan dan pemurnian islam
lewat pengajian, diskusi, dialog
dan penerjemahan kitab-kitab bahasa
Arab
ke bahasa Jawa ( Jarwa ’ake!). Isi dalam karya diutamakan
membahas
ilmu pokok yaitu Aqidah Islamiah
Ibadah – Muammalah dan Akhlak. Kiai Nawawi mengemban tugas
menyusun
kitab Aqidah, Ahmad Rifai Fiqih
dan
Muhammad Khallil menyusun
Tasawuf. Pada tahun 1254 H Haji Ahmad Rifai
telah selesai menyusun kitab
Nasihatul
Awam di Kalisalak Batang
Pekalongan. Nawawi menetap di
Banten dan Khllil di Madura. Bagi Syekh Nawawi ,
karena
keadaan pada waktu itu masih di
bawah
jajahan Belanda, dan setiap
gerak-gerik ulama selalu diawasi, termasuk
kegiatan Nawawi, ia terpaksa
kembali ke Mekkah untuk
mengajarkan ilmu
yang dimiliki kepada mahasiswa
yang berdatangan ke sana dari
berbagai
negara. Di Mekkah, ia tinggal
disebuah
perkampungan Syi ’ib Ali sampai wafatnya. Muhammad Khallil
memimpin
pesantren dan sebagai guru
tarekat
muktabarah di Bangkalan Madura
sampai akhir hayatnya. Sedang Ahmad
Rifai sebelum hijrah ke Kalisalak,
Haji
Ahmad Rifai pulang ke desa
Tempuran Kendal ingin melepas
rindu dengan keluarga. Namun Tuhan
menghendaki
lain, istri yang diharapkan bisa
memberi
semangat dalam perjuangan, telah
tiada. Meskipun demikian, semangat Syeikhina
dalam menegakkan kebenaran
mengalahkan kebatilan tidak
menjadi
surut. Tidak lama setelah pulang
dari Mekkah, Syeikhina beliau tidak
diperkenankan tinggal di Kendal
karena Haji Ahmad Rifai selalu
mengkritik elit e
agama ,birokrasi Belanda dan
Masyarakat yang berkolaborasi dengan
kolonial Belanda. Karena Menurut
Syaikhina Belanda adalah kafir.
Strategi
Dakwah Pesantren Kaliwungu
Kendal adalah sebuah pemondokan para santri
dari berbagai daerah belajar
mengaji
kitab salaf kepada seorang kiai
asli
keturunan Keraton Yogyakarta Kiai
Asy ’ari namanya kakak ipar Syeikhina, suami Nyai Rajiyah
(kakak
perempuan Syeikhina). Di
pesantren inilah Syeikhina
dibesarkan
dan memperoleh pendidikan dan pembinaan dari Kiai Asy ’ari, setelah tumbuh menjadi pemuda
dan dianggap
cukup pengetahuan ilmu agamanya,
Kiai
Ahmad Rifai terjun ke dunia
dakwah di Kendal, Wonosobo bahkan
Pekalongan,
di Kendal ia mendirikan pengajian
dan
menghimpun parasantri yang
datang dari berbagai daerah, sehingga menjadi
kelompok pengajian yang besar.
Keberhasilan Kiai Ahmad Rifai ini
karena
dakwah dan pengajiannya sangat
menarik sebelum kegiatannya diketahui
oleh pemerintah kafir kolonial
setempat,
Ahmad Rifai Kiai keturunan Kraton
Yogyakarta ini telah berhasil
menggalang kekuatan barangkali belum
pernah dimiliki kiai-kiai lain.
Sehingga
pada saat ia diasingkan dari
Kendal
kemudian atas inisiatif sendiri menetap
di Kalisalak , Kiai Ahmad Rifai
sudah
punya jaringan luas untuk
mengembangkan ajarannya.
Strategi dakwah yang dikembangkan kiai
Ahmad Rifai saat itu antara lain:
menghimpun anak-anak muda
untuk
dipersiapkan kelak menjadi kader-
kader dakwah, karena pemuda adalah
harapan keluarga dan masyarakat.
Di
tangan pemudalah urusan umat
dan
dalam derap langkah pemudalah hidupnya umat. Sekarang pemuda,
esok
pemimpin. Pemuda Qahar dan
Maufuro
adalah bukti hasil pengaderannya.
Menghimpun kaum dewasa lelaki dan
perempuan dari kaum petani,
pedagang
dan pegawai pemerintah,
dimaksudkan
untuk memperkokoh strategi dakwah,
penyokong utama dalam segi
finansial
dan dewan harian pelaksanaan
dakwah pengajiannya itu.
Mengunjungi sanak famili terdekat diajak bicara
tentang
kondisi agama, politik dan sosial
yang
dimainkan oleh pemerintah
kolonialisme Belanda dengan membuktikan
fakta-
fakta yang ada dan langkah yang
akan ditempuh dengan dakwah
dan
pengajian, supaya memperoleh simpati
keluarga. Para santri dan murid
dianjurkan kawin antar sesama
murid
atau murid dengan anak guru,
antar desa dan antar daerah
dimaksudkan agar terjalin
hubungan yang mesra dan
saling menumbuhkan kasih sayang
dan
dapat mengembangkan ilmunya didaerah masing masing. Kiai
Maufuro
menikah dengan anaknya bernama
Nyai
Fatimah alias Umroh. Pada hari-
hari tertentu mengadakan kegiatan khuruj berkunjung ke
tempat
lain yang miskin materi dan
agama .
Dengan kunjungan itu diharafkan
akan memperoleh respon dari
masyarakat
atau mungkin paling tidak dapat
membentengi pengaruh budaya
barat
yang merusak. Menghimpun kader- kader muslim terdiri dari santri
dan
murid dari berbagai daerah
kemudian
dijadikan mubalig untuk
diterjunkan ke berbagai pelosok guna memberi
dan menyampaikan dakwah
ketengah
masyarakat. Mendatangi masjid-
masjid untuk
memperbaruhi arah sholat ke arah menghadap kiblat.
Masyarakatnya,
disarankan agar tidak menaati
pemerintah kolonial, Belanda di
Indonesia telah merusak
kepribadian dan kebudayaan bangsa. Menerjemahkan kitab-
kitab berbahasa
Arab dengan kitab berbahasa
Jawa
yang mudah dipahami dan
diamalkan dengan model karangan sendiri.
Untuk
menyesuaikan kondisi masyarakat
pada
waktu itu, dibuatkan kitab -kitab
berbentuk syair atau nadzam yang indah dan dilagukan sedemikian
rupa
sehingga menarik minat pembaca
dan
pendengar, kertas putih, tulisan
merah, untuk setiap Al Qur ’an, Al Hadits, Qoulul Ulama (perkataan ulama)
serta
tiap kata awal dari syair (yang
Mengilhami ditulisnya tulisan ini
dengan
huruf merah pada awal paragraf) serta
hitam untuk tulisan makna dan
komentar, penulisan ini sesuai
dengan budaya bangsa sejak
Sultan Agung
Mataram XVI dalam penulisan kitab-
kitab Arab. Menciptakan kesenian
terbang (rebana)
disertai dengan lagu-lagu, syair-
syair,
nadzam-nadzam yang diambil dari kitab
karangannya, sehingga terbangan
itu di
sebut Jawan. Terbangan itu
dimanfaatkan untuk mengingat
pelajaran, hiburan pada saat ada hajatan dan sekaligus
mengantisipasi
budaya asing yang merusak.
Budaya itu
sengaja dibawa Belanda ke
Indonesia untuk melawan budaya tanah air
yang
diwariskan oleh nenek moyang
kita yang muslim dan mukmin.
Pindah Ke Kalisalak rupanya
pemerintah kolonial merasa khawatir
terhadap
gerakan keagamaan Haji Ahmad
Rifai
itu berkembang di daerah kendal
dan sekitarnya, karena gerakan yang
semula dirintangi itu ternyata
makin banyak pengikutnya dari
daerah lain.
Diduga kekhawatiran pemerintah
Belanda terhadap gerakan Ahmad Rifai
ini, diilhami oleh kekhawatiran
pemerintah kolonial akan
munculnya
kembali pemberontakan, seperti
terjadinya Perang Diponegoro di Jawa
Tengah pada 1825 – 1830. Pemerintah tidak mau lagi jatuh
kedua
kalinya dalam satu lubang. Sebelum
Mubalig Ulung lebih jauh melangkah,
pemerintah kolonial mengambil
langkah mengasingkan ulama kharismatik
ini ke
luar Kendal, tidak lain agar
gerakan beliau terhambat dan
tidak
berkembang. Atas kenyataannya ini
kemudian ia memilih tempat
tinggal di
Kalisalak sebagai basis
perjuangannya.
Langkah ini ditempuh karena Kalisalak
merupakan daerah strategis untuk
medan dakwah dan memudahkan
kontak hubungan dengan semua
pihak
dari berbagai wilayah di Jawa Tengah
dan Jawa Barat. Pada umumnya
masyarakat disana
kaum petani yang pengetahuan
agamanya perlu disempurnakan.
Selain itu para murid yang pernah
mendapat
latihan mental waktu di Kendal
adalah
dari Krisidenan Pekalongan, di
samping Karisidenan lain, seperti Maufuro
Batang, Abu Ilham Batang, Abdul
Azis
Wonosobo, Abdul Hamid
Wonosobo,
Abdul Qohar Kendal, Muhammad Thuba
Kendal, Imamtani Kutowinangun,
Muh
Idris Indramayu, Muharrar
Purworejo, Mukhsin Kendal, Mas
Suemodiwiryo Salatiga, Abdullah ( Dolak )
Magelang,
Abu Hasan Wonosobo, Abu Salim
Pekalongan, Abdul Hadie
Wonosobo,
Tawwan Tegal, Asnawi Pekalongan,
Abdul Saman Kendal, Abu Mansyur
Wonosobo, Abdul Ghani
Wonosobo,
Muhammad Hasan Wonosobo,
Muhammad Tayyib Wonosobo, Ahmad
Hasan Pekalongan, Nawawi
Batang ,
Abu Nawawi Purwodadi. Mereka
itulah kader-kader Mubaligh
tangguh yang berjasa mengembangkan
pemikiran Haji Ahmad Rifai ke
daerah – daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Ketika Haji Ahmad Rifai berada di
Kendal sempat menuklahkan
putranya,
Fatimah Alias Umroh dengan lurah
Pondok, Maufuro bin Nawawi, Keranggonan ( sekarang
Karanganyar ) Kecamatan
Limpung. Setelah
meninggalkan kota Kendal, Haji
Ahmad
Rifai sementara tinggal di rumah Kiai
Maufuro menantunya. Tidak lama
kemudian Ahmad Rifai
menikahi janda Demang Kalisalak
Alm
Martowidjojo namanya Sujainah lalu ia
hidup bersama istrinya di
Kalisalak. Di
Kalisalak pada mulanya Kiai Haji
Ahmad
Rifai menyelenggarakan pengajian untuk anak-anak. Namun lembaga
itu
kemudian berkembang menjadi
majelis
pendidikan yang mencakup pula
orang- orang dewasa, baik laki-laki
maupun
perempuan. Satu hal yang
menyebabkan pengajian haji
Ahmad Rifai cepat terkenal adalah
metode terjemahannya, baik Al-Quran, Al-
Hadits
maupun kitab-kitab karangan
ulama
Arab dan Aceh lebih dahulu
diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa
sebelum diajarkan kepada para
murid, bahkan kelihatan sebagai
kewajiban
yang ditempuh secara
sadar,seperti yang tersirat di dalam satu bait
kitab
Ri’ayatal Himmah karya Haji Ahmad Rifai, sebagai berikut:
Wajib saben alim adil nuliyan
narajumah
kitab Arab rinetenan supoyo wong
jawi
akeh ngerti pitutur saking Qur ’an lan kitab – kitab Arab jujur kaduwe wong awam enggal ngerti milahur
ningali
kitab Tarjamah jawi pitutur
Artinya: Diwajibkan bagi setiap
alim adil
( ulama akhirat ) untuk menejemahkan
kitab Arab, agar orang jawa lebih
mengerti ajaran dari Al Quran dan
kitab-
kitab Arab ( Hadits dan Ulama )
dengan benar sehingga orang awam
mengerti dan segera
melaksanakannya. melihat
( membaca dan mempelajari )
kitab Tarjumah jawa sebagai
ajaran. karena metodenya yang tepat
manfaat
maka tak mustahil pengajian
Ahmad
Rifai cepat berkembang. Para
muridnya datang dari daerah yang dekat
saja seperti Kendal, Batang dan
Pekalongan
tetapi juga berasal dari Kedu ,
Wonosobo, Magelang , Banyumas,
Kerawang, Indramayu dan lainnya . Dan
intensitas pengajaran tauhid , fiqh
dan
tasawuf rasional yang dijalankan
oleh Haji Ahmad Rifai yang
menyebabkan perbedaan antara tradisi keliru
yang
telah mapan dengan pemikiran
barunya . Mendirikan Pesantren
Kiai Haji
Ahamd Rifai mendirikan lembaga pendidikan pondok pesantren di
Kalisalak Batang . Sistem
pengajaran
yang menggunakan terjemahan
bahasa
jawa untuk memahami ajaran – ajaran islam , mendorong
bertambahnya murid
pesantren yang berdatangan dari
berbagai daerah Jawa Tengah dan
Jawa
Barat. Sementara waktu itu kebiasaan di
pondok pesantren masih berlaku
pengajian kitab – kiatb berbahasa Arab saja , dan masih asing
terhadap kitab
kitab terjemahan. Menurut DR.
Karel A.
Steenbrink ( Sarjana Belanda )
bahwa didalam sejarah dakwah , Ahmad
Rifai
bisa dianggap hampir satu – satunya tokoh yang bisa
memberikan uraian
tentang agama Islam tanpa
memakai
idiom – idiom Arab dan mampu mengarang buku dalam bahasa
yang
menarik karena memakai bentuk
syair.
Metodologi yang digunakan dalam
pengajarannnya menggaunakan empat
tahapan . Keempat tahapan itu
adalah: Tahapan Pertama ; Seorang
santri harus
belajar membaca kitab Tarojumah
terbatas pada tulisan Jawa. Sistem
pengajaran ini dinamakan ngaji
irengan ,
mengejakan satu persatu huruf
kemudian merangkum menjadi
bacaan atau kalimat, tingkatan ini merupakan
awal didalam cara membaca kitab
Tarojumah . Disamping itu para
Santri
harus menghafal syarat rukun
iman, dan islam, ibadah sholat dan wiridan ” Angawaruhi Ati Ningsun …… .!” atau ” Sahadat Loro ” . Setelah Sholat fardlu, diwajibkan mengikuti
praktek Sholat
yang dipimpin oleh lurah -pondok
yang
bersangkutan . Tahapan Kedua ;
Mengaji dalil – dalil Al – Qur’an , Hadist dan Qoulul Ulama ’, yang terdapat Kitab Tarojumah. Dalam
Tahapan ini Seorang Lurah pondok
harus
menguasai ilmu tajwid Al – Qur’an dan mampu mengaplikasikannya
dalam
bacaan Al-Qur ’an dengan benar. Pengajian tahap ini disebut ngaji
abangan karena memang tulisan
Arab
untuk dalil adalah berwarna merah
atau
ABANG atau disebut juga ngaji dalil
karena hanya dalil saja yang
dibaca. Di
samping itu santri harus hafal dan
bisa serta paham tentang Syarat – Rukun Puasa dan Sholat. Tahapan
Ketiga ; Mengaji dalil dan
makna jadi satu dari kitab – kitab Tarojumah , tahapan ini
dinamakan ngaji
lafal makno ( belajar
menerjemahkan
tiap kata dalil / kalimat dalil
dengan bahasa jawa yang ada dibawah
dalil
itui ) , disini para santri
membutuhkan
kejelian dalam mencari arti.
Tahapan Keempat ; Seorang santri diajak memahami maksud yang
terkandung dalam kitab – kitab Tarojumah , karena hampir setiap
kalimat mempunyai makna
harfiah dan
tafsiriah yang tentunya
membutuhkan
keterangan dan pemahaman yang dalam . Kitab – kitab Tarojumah disusun dengan formula lengkap :
Kamaknanan ,
Kamurodan , Kasarahan ,
Kamaksudan
Dan Kapertelanan , atau dengan
kata lain ngaji maksud , ngaji sorah ,
ngaji
bandungan , atau ngaji sorogan .
Pengajian ini berupa pembacaan
dan penerangan isi kandungannya
dan dilakukan oleh Syaikhina Haji
Ahmad
Rifai sendiri dihadapan para santri
dan
murid pilihan kemudian mereka
satu persatu memcoba menirukan
seperti
apa kata beliau . Dalam pengajian
ini diajarkan pula oleh ulama ’ itu tentang ilmu dan amalan
kesunahan yang tidak
tertulis didalam kitab – kitab Tarojumahnya. Kitab – Kitab Tarojumah Karangannya Kitab -
kitab karya Kiai Haji Ahmad Rifai
di Jawa yang dapat diketahui
pasti ada
62 buah judul kiatb rangkuman
berbagai soal keagamaan yang diambil dari
Al – Qur’an dan Al – Hadits dan kitab – kitab bahas Arab karangan ulama ’ – ulama’ terdahulu yang diterjemahkan secara bebas
kedalam bahasa Jawa ,
karenanya disebut Tarajumah ,
berisi
ilmu Tauhid , Fiqih dan Tasawuf ,
memakai huruf Arab Jawa Pegon, sebagian besar berbentuk nadzam
( puisi tembang ), setiap empat
baris dengan akhiran sama dan
sebagian lagi
natsar ( prosa ) atau natsrah
( nadzam dan natsar sekaligus ) , selain itu
ada
juga yang berbentuk miring yang
disebut Tanbih Rejeng. Kitab – kitab yang disusun di pulau Jawa
yaitu 62: Risalah berisi fatwa – fatwa agama ( 1254 H ) ; Nasihatul
‘Awam , berisi Nasihat kepada masyarakat / awam ( 1254 H ) ;
Syarihul Iman, berisi Bab Iman ,
Islam ,
Ihsan dan barang ta ’alu’ ( 1255 H ) ; Taisir , berisi Ilmu Sholat Jum ’at ( 1255 H ) ; ‘Inayah , berisi Bab Khalifah Rosullulloh ( 1256 H ) ;
Bayan , berisi Ilmu meteodologi
mendidik dan mengajar ( 1256 H ) ;
Jam’ul Masail , berisi Bab 3 Ilmu Agama ( 1256 H ) ; Qowa ’id , berisi Bab Ilmu Agama ( 1257 H ) ;
Targhib , berisi Bab Makrifatulloh
( 1257
H ) ; Thoriqot Besar , berisi Bab
Hidayatulloh
( 1257 H ) ; Thoriqot Kecil , berisi Bab Thariqotulloh
( 1257 H ) ; Athlab , berisi Bab
mencari Ilmu
Pengetahuan ( 1259 H ) ; Husnul
Mitholab , berisi 3 Ilmu Agama
( 1259 H ); Thulaab , berisi Bab Kiblat Sholat ( 1259
H ) ; Absyar , berisi Bab Kiblat
Sholat ( 1259
H ) ; Tafriqoh , berisi Bab
Kewajiban Mukalaf
( 1260 H ) ; Asnal Miqosod , Bab 3 Ilmu Agama
( 1261 H ) ; Tafsilah , berisi Bab
Kemntapan Iman
( 1261 H ) ; Imdaad , berisi Masalah
Dosa Takabur
( 1261 H ) ; Irsyaad , berisi Bab Ilmu Manfaat ( 1261
H ) ; Irfaq , berisi Bab Iman ,
Islam , dan Ihsan
( 1261 H ) ; Nadzam Arja Safa ’at , berisi Hikayat Isro ’ Mi’roj Nabi Sol’Am ( 1261 H ) ; Jam ‘ul Masail , berisi Bab Fiqih dan Tasawuf ( 1261
H ); Jam’ul Masail , berisi Bab Tasawuf ( 1261 H ) ; Tahsin , berisi
Bab Fidyah Sholat Dan
Puasa ( 1261 H ) ; Showalih , berisi
Kerukunan Umat
Beragama ( 1262 H ) ; Miqshadi ,
berisi Bab bacaan Al Fatihah ( 1262 H ); As ’ad , berisi Bab Iman dan Ma’rifatulloh ( 1262 H ) ; Fauziah , berisi Bab Jumalah
Maksiat
( 1262 H ) ; Hasaniah , berisi Bab
Fardlu Mubadarah
( 1262 H ) ; Fadliyah , berisi Bab
Dzikrulloh ( 1263 H ) ; Tabyanal Islah , berisi Bab
Nikah Tholaq
Rujuk ( 1264 H ); Abyanal Hawaij ,
berisi Bab 3 Ilmu
Agama ( Ushul-Fiqih-Tasawuf )
( 1265 H ) ; Takhirah Mukhtasar , berisi
Bab Iman
Islam ( 1266 H ) ; Ri ’ayatal Himmah , berisi Bab 3 Ilmu Agama
( 1266 H ) ; Tasyrihatal Muhtaj ,
berisi Masalah
Mu’amalah ( EKSOS ) ( 1266 H ) ; Kaifiyah , berisi Bab Tata Cara
Sholat
( 1266 H ) ; Misbahah , berisi Bab
Dosa Meninggalkan
Sholat ( 1266 H ) ; Ma ’uniyah , berisi Sebab Jadi kafir ( 1266 H ) ;
‘Uluwiyah , berisi Bab Takabur karena Harta ( 1266 H ) ;
Rujumiyah , berisi Bab Sholat Jum
’ah ( 1266 H ) ; Mufhamah , berisi Bab Mukmin dan Kafir
( 1266 H ; Basthiyah , berisi Bab
Ilmu Syariat ( 1267
H ) ; Tahsinah , berisi Bab Ilmu
Tajwid ( 1268
H ) ; Tadzkiyah , berisi Bab Menyembelih
Binatang ( 1269 H ); Fatawiyah ,
berisi Bab Cara Berfatwa
Agama ( 1269 H ) ; Samhiyah ,
berisi Bab Sholat Jum ’ah ( 1269 H ) ; Rukhsiyah , berisi Bab Sholat
Jama ’ – Qosor dan Sholat Musafir ( 1269 H ) ; Maslahah , berisi Bab
Pembagian
Warisan Islami ( 1270 H ) ;
Wadlihah , berisi Bab Manasikh
Haji
( 1272 H ) ; Munawirul Himmah , berisi Bab Wasiat
Kepada Manusia ( 1272 H ) ; Surat
kepada R. Penghulu Pekalongan
( 1273 H ); Tansyirah , 10 Wasiyat
Agama ( 1273
H ); Mahabbatulloh , berisi Bab Nikmatulloh
( 1273 H ) ; Mirghabut Tha ’ah* , berisi Iman dan Syahadah ( 1273
H ) ; Hujahiyyah , berisi Bab Tata
Cara
Berdialog ( 1273 H ) ; Tashfiyah ,
Bab Makna Fatihah ( 1273
H ) ; 500 Tanbih Bahasa Jawa , ( 1273 H ) ; 700 Nadzam Do’a dan Jawabannya ( 1270 – 1273 H ) ; Puluhan Tanbih Rejeng , Masalah
Agama
( 1273 H ) ; Shihatun Nikah ,
Mukhtashar Tabyanal
Islah ( 1270-an H ); Nadzam
Wiqoyah ( 1270 -an H ) Kitab – Kitab , Surat Wasiat dan Tanbih
yang disusun di Ambon , adalah :
Targhibul Mathlabah , Berisi Bab
Ushuliddin ( 1274 H ) ; Kaifiyatul
Miqshadi , Berisi Bab Fiqih
( 1275 H ) ; Nasihatul Haq , Bab Tasawuf ( 1275 H ) ; Hidayatul
Himmah , Bab Tasawuf ( 1275
H ) ; 60 Buah kitab Tanbih bahasa
Melayu
( 1275 H ); Surat wasiat kepada
Maufuro dan Murid – Murid lainnya ! ( 1275 H ) ; Perlu diketahui bahwa kitab Tanbih
terdiri dari tiga halaman folio
sebanyak
114 baris nadzam dan di dalam
setiap
tanbih membahas satu masalah agama
yang berbeda dengan nyang lain ,
berati
dalam 500 tanbih terdapat 500
judul. Kalau tiap satu tanbih dapat
dihitung sebuah kitab , maka kitab – kitab karangan syeikhina Kiai Haji
Ahmad
Rifai ada 562 Kitab yang dikarang
di
Pulau Jawa saja, kitab – kitab yang dikarang di Ambon yang terdiri
dari 60
Tanbih dan 4 kitab bahasa melayu
serta
dua surat wasiat kepada Maufuro,
jadi kalau ditotal semua karangan Guru
Besar Tarjumah ada 627 buah kitab.
Adapun data mengenai nama
kitab,
tahun selesai dikarang, dan
kandungan bersumber pada : 1. Jadwal Kitab
yang disusun oleh
Kiai Ahmad Nasihun bin Abu
Hasan Paesan tengah
Kedungwuni Pekalongan ( 1966
M ) ; 2. Kitab – kitab karangan Kiai Haji Ahmad Rifai dipulau Jawa 3.
Buku Sejarah Nasional karangan
Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo ,
Nugroho Notosusanto dkk. Masa
Akhir Perjuangan Beliau Di Pulau
Jawa Tahun 1272 H ( 1856 ) adalah merupakan tahun permulaan krisis
bagi
gerakan Syeikhina Kiai Haji Ahmad
Rifai . Hal ini disebabkan hampir
seluruh
kitab karangan ( dan Hasil tulisan tangan
beliau ) disita oleh pemerintah
Belanda , disamping itu para murid
dan Ahmad
Rifai sendiri terus – menerus mendapat tekanan Ratu Kafir
Tanah Jawa ( RKTJ
Bukan GITJ ) yaitu Belanda .
Sebelum Haji
Ahmad Rifai diasingkan dari
kaliwungu Kendal Semarang , tuduhan yang
dikenakan hanyalah persoalan
menghasut pemerintah Belanda
dan membawa Haji Ahmad Rifai
dipenjara
beberapa hari di Kendal , Semarang dan
terakhir di Wonosobo . Maka
selama di Kalisalak persidangan
panjang dialaminya , menghasut ,
mendoktrin jamaah membuat
Syair – Syair protes dan beberapa Kitab yang
isinya menyinggung Anti kolonial
Belanda dan Kroni – kroninya serta mengkader pejuang pejuang
militan di
Pesantrennya adalah selalu
menjadi
tuduhannya. Tuduhan itu dari
wedono Kalisalak yang meminta agar Haji
Ahmad Rifai diasingkan dari
Kalisalak
ternyata tidak bisa dibuktikan
sebagaimana dalam surat
keputusan kelima dari Gubernur Jenderal
Duymaer
Van Twist yang dibuat pada
tanggal 2
Juli 1855 menyatakan bahwa
seluruh tuduhan terhadap Haji Ahmad Rifai
belum bisa dibuktikan , dan perlu
diperiksa dalam persidangan
biasa .
Untuk sementara waktu waktu
perkara tersebut ditutup. Pada tahun 1856
Jendral Albertus Jacub
Duymaer Van Twist oleh Jendral
Charles
Ferdinand Pahud, Wedono Kalisalak
memandang perlu untuk mengangkat
kembali permasalahan
pengasingan Kiai
Haji Ahmad Rifai , namun ternyata
jendral Pahud pun menyatakan
menolak sebagaimana yang ditulis dalam
suratnya tertanggal 23 November
1858.
Akan tetapi tekad dan dendam
Iblis
Wedono Kalisalak tidak berhenti sampai
disini , Dia menulis surat kepada
Bupati Batang tertanggal 19 April
1859 No.1 A
yang isinya diteruskan ke
Karisidenan Pekalongan oleh bupati Batang
pada
tanggal 24 April 1859 No.29 . Inti
surat
tersebut isinya adalah
sebagaimana bunyi surat yang pernah dikirim
sebelumnya tertanggal 9
November
1858 No.578 dan 5 November 1858
No.700, mengigat belum juga
mendapat perhatian dari Residen Pekalongan,
maka diperjelas lagi dengan
suratnya
tertanggal 29 April 1859. Selain itu
pada tanggal 30 April 1859 Residen
Pekalongan menulis surat kepada Buiten
Zorg di Bogor yang isinya agar
Kyai Haji
Ahmad Rifai disidangkan ke
pengadilan
dan diasingkan dari Kalisalak. Pada
tanggal 6 Mei 1859 secara resmi
Haji Ahmad Rifai dipanggil Residen
Pekalongan Franciscus Netscher
untuk
pemeriksaan terakhir dan syarat untuk
memenuhi pengasingan ke Ambon.
Sejak tanggal 6 Mei 1859 Haji
Ahmad
Rifai sudah tidak diperkenankan
kembali ke rumah lagi untuk menunggu
keberangkatan pengasingan
hingga
tanggal 9 Mei 1859, berdasarkan
surat
keputusan No.35 tertanggal 19 Mei 1859
K.H. Ahmad Rifai meninggalkan
jamaah
beserta para keluarganya karena
mulai hari itu beliau diasingkan di
Ambon,Maluku. Setelah dua tahun Haji Ahmad Rifai di
Ambon beliau telah mengirim kitab
sebanyak empat buah dalam
bahasa
Melayu dan 60 buah judul Tanbih
berbahasa Melayu juga surat wasiat
tertanggal 21 Dzulhijjah 1277 H
kepada menantunya Kyai Maufura
bin Nawawi
di Keranggongan, Batang yang
isinya agar para muridnya beserta
keluarganya jangan sekali-kali
taat pada
pemerintah Belanda dan orang-
orang
yang berkolaborasi dengannya. Setelah di Ambon Haji Ahmad Rifai
bersama
Kyai Modjo dan 46 ulama lainnya
dipindahkan ke kampung Jawa
Tondano,
Manado, Sulawesi Utara karena ia bersama ulama-ulama Tarojumah
menganggap perlu lahirnya
organisasi Rifaiyah secara
nasional , dan dia tinggal
disana untuk menanti panggilan
dari sang Robb, Beliau wafat dengan
tenang
sebagai ” Pahlawan Islam dan bukan Pahlawan Nasional ” pada Kamis 25 Robiul Akhir 1286 H (usia
86 tahun) , ada
riwayat lain yang mengatakan
beliau
wafat pada 1292 H (92 tahun,
semoga yang ini benar, karena itu berarti
beliau
panjang umur) di kampung Jawa
Tondono Kabupaten Minahasa,
Manado Sulawesi Utara dan
dimakamkan dikomplek makam pahlawan kiai
Modjo
disebuah bukit yang terletak
kurang
lebih 1 km dari kampung Jawa
Tondano


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More