Rabu, 22 Juni 2011

Cara Mencegah Kecemasan Siswa di Sekolah

Cara Mencegah Kecemasan Siswa di Sekolah


Kecemasan atau anxiety merupakan salah satu bentuk emosi individu yang berkenaan dengan adanya rasa terancam oleh sesuatu, biasanya dengan objek ancaman yang tidak begitu jelas. Kecemasan dengan intensitas yang wajar dapat dianggap memiliki nilai positif sebagai motivasi, tetapi apabila intensitasnya sangat kuat dan bersifat negatif justru malah akan menimbulkan kerugian dan dapat mengganggu terhadap keadaan fisik dan psikis individu yang bersangkutan.
Adalah Sigmund Freud, sang pelopor Psikoanalisis yang banyak mengkaji tentang kecemasan ini. Dalam kerangka teorinya, kecemasan dipandang sebagai komponen utama dan memegang peranan penting dalam dinamika kepribadian seorang individu.
Freud (Calvin S. Hall, 1993) membagi kecemasan ke dalam tiga tipe:
1. Kecemasan realistik yaitu rasa takut terhadap ancaman atau bahaya-bahaya nyata yang ada di dunia luar atau lingkungannya.
2. Kecemasan neurotik adalah rasa takut jangan-jangan insting-insting (dorongan Id) akan lepas dari kendali dan menyebabkan dia berbuat sesuatu yang bisa membuatnya dihukum. Kecemasan neurotik bukanlah ketakutan terhadap insting-insting itu sendiri, melainkan ketakutan terhadap hukuman yang akan menimpanya jika suatu insting dilepaskan. Kecemasan neurotik berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya pada masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman dari orang tua maupun orang lain yang mempunyai otoritas, jika dia melakukan perbuatan impulsif.
3. Kecemasan moral yaitu rasa takut terhadap suara hati (super ego). Orang-orang yang memiliki super ego yang baik cenderung merasa bersalah atau malu jika mereka berbuat atau berfikir sesuatu yang bertentangan dengan moral. Sama halnya dengan kecemasan neurotik, kecemasan moral juga berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya pada masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman dari orang tua maupun orang lain yang mempunyai otoritas jika dia melakukan perbuatan yang melanggar norma
Selanjutnya, dikemukakan pula bahwa kecemasan yang tidak dapat ditanggulangi dengan tindakan-tindakan yang efektif disebut traumatik, yang akan menjadikan seseorang merasa tak berdaya, dan serba kekanak-kanakan. Apabila ego tidak dapat menanggulangi kecemasan dengan cara-cara rasional, maka ia akan kembali pada cara-cara yang tidak realistik yang dikenal istilah mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism), seperti: represi, proyeksi, pembentukan reaksi, fiksasi dan regresi. Semua bentuk mekanisme pertahanan diri tersebut memiliki ciri-ciri umum yaitu: (1) mereka menyangkal, memalsukan atau mendistorsikan kenyataan dan (2) mereka bekerja atau berbuat secara tak sadar sehingga tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Kecemasan dapat dialami siapapun dan di mana pun, termasuk juga oleh para siswa di sekolah. Kecemasan yang dialami siswa di sekolah bisa berbentuk kecemasan realistik, neurotik atau kecemasan moral. Karena kecemasan merupakan proses psikis yang sifatnya tidak tampak ke permukaan maka untuk menentukan apakah seseorang siwa mengalami kecemasan atau tidak, diperlukan penelaahan yang seksama, dengan berusaha mengenali simptom atau gejala-gejalanya, beserta faktor-faktor yang melatarbelangi dan mempengaruhinya. Kendati demikian, perlu dicatat bahwa gejala-gejala kecemasan yang bisa diamati di permukaan hanyalah sebagian kecil saja dari masalah yang sesungguhnya, ibarat gunung es di lautan, yang apabila diselami lebih dalam mungkin akan ditemukan persoalan-persoalan yang jauh lebih kompleks.
Di sekolah, banyak faktor-faktor pemicu timbulnya kecemasan pada diri siswa. Target kurikulum yang terlalu tinggi, iklim pembelajaran yang tidak kondusif, pemberian tugas yang sangat padat, serta sistem penilaian ketat dan kurang adil dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kecemasan yang bersumber dari faktor kurikulum. Begitu juga, sikap dan perlakuan guru yang kurang bersahabat, galak, judes dan kurang kompeten merupakan sumber penyebab timbulnya kecemasan pada diri siswa yang bersumber dari faktor guru. Penerapan disiplin sekolah yang ketat dan lebih mengedepankan hukuman, iklim sekolah yang kurang nyaman, serta sarana dan pra sarana belajar yang sangat terbatas juga merupakan faktor-faktor pemicu terbentuknya kecemasan pada siswa.yang bersumber dari faktor manajemen sekolah.
Menurut Sieber e.al. (1977) kecemasan dianggap sebagai salah satu faktor penghambat dalam belajar yang dapat mengganggu kinerja fungsi-fungsi kognitif seseorang, seperti dalam berkonsentrasi, mengingat, pembentukan konsep dan pemecahan masalah. Pada tingkat kronis dan akut, gejala kecemasan dapat berbentuk gangguan fisik (somatik), seperti: gangguan pada saluran pencernaan, sering buang air, sakit kepala, gangguan jantung, sesak di dada, gemetaran bahkan pingsan.
Mengingat dampak negatifnya terhadap pencapaian prestasi belajar dan kesehatan fisik atau mental siswa, maka perlu ada upaya-upaya tertentu untuk mencegah dan mengurangi kecemasan siswa di sekolah, diantaranya dapat dilakukan melalui:
1. Menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran dapat menyenangkan apabila bertolak dari potensi, minat dan kebutuhan siswa. Oleh karena itu, strategi pembelajaran yang digunakan hendaknya berpusat pada siswa, yang memungkinkan siswa untuk dapat mengkspresikan diri dan dapat mengambil peran aktif dalam proses pembelajarannya.
2. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung guru seyogyanya dapat mengembangkan “sense of humor” dirinya maupun para siswanya. Kendati demikian, lelucon atau “joke” yang dilontarkan tetap harus berdasar pada etika dan tidak memojokkan siswa.
3. Melakukan kegiatan selingan melalui berbagai atraksi “game” atau “ice break” tertentu, terutama dilakukan pada saat suasana kelas sedang tidak kondusif.. Dalam hal ini, keterampilan guru dalam mengembangkan dinamika kelompok tampaknya sangat diperlukan.
4. Sewaktu-waktu ajaklah siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran di luar kelas, sehingga dalam proses pembelajaran tidak selamanya siswa harus terkurung di dalam kelas.
5. Memberikan materi dan tugas-tugas akademik dengan tingkat kesulitan yang moderat. Dalam arti, tidak terlalu mudah karena akan menyebabkan siswa menjadi cepat bosan dan kurang tertantang, tetapi tidak juga terlalu sulit yang dapat menyebabkan siswa frustrasi.
6. Menggunakan pendekatan humanistik dalam pengelolaan kelas, dimana siswa dapat mengembangkan pola hubungan yang akrab, ramah, toleran, penuh kecintaan dan penghargaan, baik dengan guru maupun dengan sesama siswa. Sedapat mungkin guru menghindari penggunaan reinforcement negatif (hukuman) jika terjadi tindakan indisipliner pada siswanya.
7. Mengembangkan sistem penilaian yang menyenangkan, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan penilaian diri (self assessment) atas tugas dan pekerjaan yang telah dilakukannya. Pada saat berlangsungnya pengujian, ciptakan situasi yang tidak mencekam, namun dengan tetap menjaga ketertiban dan objektivitas. Berikanlah umpan balik yang positif selama dan sesudah melaksanakan suatu asesmen atau pengujian.
8. Di hadapan siswa, guru akan dipersepsi sebagai sosok pemegang otoritas yang dapat memberikan hukuman. Oleh karena itu, guru seyogyanya berupaya untuk menanamkan kesan positif dalam diri siswa, dengan hadir sebagai sosok yang menyenangkan, ramah, cerdas, penuh empati dan dapat diteladani, bukan menjadi sumber ketakutan.
9. Pengembangan menajemen sekolah yang memungkinkan tersedianya sarana dan sarana pokok yang dibutuhkan untuk kepentingan pembelajaran siswa, seperti ketersediaan alat tulis, tempat duduk, ruangan kelas dan sebagainya. Di samping itu, ciptakanlah sekolah sebagai lingkungan yang nyaman dan terbebas dari berbagai gangguan, terapkan disiplin sekolah yang manusiawi serta hindari bentuk tindakan kekerasan fisik maupun psikis di sekolah, baik yang dilakukan oleh guru, teman maupun orang-orang yang berada di luar sekolah.
10. Mengoptimalkan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Pelayanan bimbingan dan konseling dapat dijadikan sebagai kekuatan inti di sekolah guna mencegah dan mengatasi kecemasan siswa Dalam hal ini, ketersediaan konselor profesional di sekolah tampaknya menjadi mutlak adanya.
Melalui upaya – upaya di atas diharapkan para siswa dapat terhindar dari berbagai bentuk kecemasan dan mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu yang sehat secara fisik maupun psikis, yang pada gilirannya dapat menunjukkan prestasi belajar yang unggul.

By : Imdad


sang pahlawan nasional KH.ahmad rifai

K.H. Ahmad Rifa’i, Gerakan Perlawanan Kiai Kalisalak

Pahlawan Nasional



Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada enam tokoh nasional. Penganugerahan dilakukan dalam upacara di Istana Negara, Jl. Veteran, Jakarta Pusat, Rabu (10/11/2004) mulai pukul 11.00 WIB.
Enam orang yang dianugerahi gelar pahlawan nasional adalah Maskoen Soemadiredja (pejuang kemerdekaan), Raja Ali Haji (tokoh bahasa Melayu), KH Ahmad Rifai (pejuang kemerdekaan), Gatot Mangkoepraja (pejuang kemerdekaan), Ismail Marzuki (pencipta lagu), dan Andi Mappanyukki (pejuang kemerdekaan).
Keenam tokoh yang dinilai telah berjuang dalam menegakkan RI tersebut sudah almarhum. Penerimaan gelar pahlawan nasional diwakili oleh para keluarganya. Penganugerahan pahlawan nasional ini ditetapkan melalui keputusan presiden.
Hadir dalam acara ini Wapres Jusuf Kalla, Ketua DPR Agung Laksono, Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Kapolri Jenderal Pol Da’i Bachtiar, Menko Polhukkam Widodo AS, dan jajaran kabinet lainnya.
Dulu, di Jawa Tengah, ada seorang Kiai yang sangat gigih melawan Belanda. Gerakan perlawannya di sebut “Tarajumah.” Pelopornya adalah KH. Ahmad Rifa’i, yang belum lama ini diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Bagi masyarakat Jawa Tengah,, terutama di Pekalongan Kedu, Semarang, dan sekitarnya, Nama KH. Ahmad Rifa’i dari Kalisalak, Batang, Jawa Tengah, sudah tak asing lagi. Dua abad silam ia wafat, namun namanya masih harum hingga sekarang. Ia adalah ulama besar ahli Tarekat, yang sangat gigih melawan kolonialisme Belanda. Itu sebabnya Presiden Susilo Bambang Yudoyono memberinya gelar sebagai Pahlawan Nasional, melalui Kepres Nomor: 089/TK/2004. ia dikenal sebagai sosok pemimpin rakyat yang tegas, ulet dan teguh dalam pendirian.
Beberapa penelitian menggambarkan, Kiai Rifa’i sebagai pembaharu dalam pemikiran agama, misalnya dalam buku Movement Protest in Pulau Java, sejarawan Prof. DR. Sartono Kartodirdjo menulis, Kiai Rifa’i sebagai seorang pembaharu. Sedang DR. Karel Steenbring dalam salah satu tulisannya, menyebutnya sebagai reformis dan fundamentalis, kekuatan tokoh ini terletak pada prinsip dan semangat juangnya, yakni tekad untuk mengembalikan Islam pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Kiai Rifa’i lahir di Tempuran, Kendal, Jawa Tengah, Kamis 9 Muharram 1.200 H/13 November 1785 (versi lain 1786) ayahnya Muhammad Marhum bin Abi Sujak Wijaya alias Raden Sukocito, seorang penghulu. Sedang ibunya bernama Siti Rohmah. Ia bungsu dari delapan bersaudara.
Ketika baru berusia tujuh tahun, ia sudah Yatim Piatu, dan selanjutnya tinggal bersama kakak kandungnya, Nyai Rajiyah binti Muhammad Marhum dan Kakak Iparnya KH. Asy’ari, seorang ulama dan pendiri pesatren Kaliwungu, Kendal. Sejak muda ia sudah terkenal warak, lebih mementingkan ibadah, dan suka menimba ilmu. Itulah sebabnya ia menghabiskan masa kecilnya di sejumlah pesantren, setelah sebelumnya belajar agama kepada kakak kandungnya. Ketika usianya baru delapan tahun, ia sudah tekun beribadah. Hari-harinya disibukkan dengan salat berjemaah, berdzikir dan belajar. Tidak hanya itu, ia juga sangat peka terhadap situasi sosial kemasyarakatan yang kala itu sarat dengan aksi-aksi kezaliman kaum kolonialis Belanda.
Pemuda Rifa’i tampil menentang penjajah dengan Gerakan Tarajumah. Gerakan perlawanan ini lebih menekankan pada aspek keagamaan dengan budaya masyarakat lokal secara menonjol. Ia membuka kesadaran masyarakat untuk menjadikan Islam sebagai roh kehidupan dan perjuangan. Kata Tarajumah, dialek Sunda untuk kata Tarjamah dari bahasa Arab, diambil dari kitab agama karangannya yang ia susun di sela-sela mengajar.
Dalam serangkaian tulisannya, kiai Rifa’i menyebut Belanda sebagai kafir; dan siapapun yang berkolaborasi dengan Belanda, hukmnya juga Kafir. Pandangan seperti itu, akhirnya menjadi fatwa yang tersebar luas di kalangan masyarakat Kalisalak dan sekitarnya. Dan tentu saja fatwa ini membuat Belanda sangat marah. Tak ayal, lantas Belanda nmengejeknya dengan julukan “Setan Kalisalak”. Kala itu bahkan sejumlah ulama yang pro Belanda sempat memojokkannya sebagi “Kiai Sesat”.
Sementara giat berdakwah, dengan jelas ia menyaksikan tatanan moral masyarakat kala itu yang rusak akibat ulah penjajah, yang dinilainya tidak mengindahkan ajaran agama. Tanpa tedeng aling-aling, ia sering mengkritik pemerintah Belanda dalam khotbah-khotbah Jumatnya, dan berkat kepiawaiannya berpidato, ia cepat dikenal masyarakat luas.
Menurut Ustadz Nasikhun, seorang ulama Batang, Kiai Rifa’i adalah salah seorang dari ribuan ulama Indonesia yang hingga kini masih dihormati, ia guru spiritual yang banyak berjasa dalam membangun ketahanan rohani, dengan menanamkan nilai-nilai agama.
Karena sikapnya yang radikal, ia mendapat kecaman, bahkan ancaman keras dari pemerintah Kolonial Belanda, birokrasi, maupun ulama yang bersebrangan dengannya. Akhirnya larangan berdakwah pun dikeluarkan, tapi ia tetap jalan terus, bahkab semakin gencar. Untuk menjerat pimpinan rakyat ini, Belanda menyuruh seorang ulama, Haji Pinang, untuk mengajaknya debat terbuka. Dalam perdebatan itu secara sepihak Kiai Rifai dianggap bersalah, dengan alasan inilah, dia dijebloskan ke dalam penjara.
Tapi ia pantang mundur. Keluar dari penjara pada tahun 1835, ketika berusia 30 tahun, ia langsung berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu kepada sejumlah ulama besar di tanah suci. Bermukim di sana selama delapan tahun. Ia berguru kapada sejumlah ulama, antara lain, Syekh Utsman dan Syekh Faqih Muhammad ibnu Abdul Aziz Al-Jaysyi. Ia juga sangat akrab dengan beberapa santri asal Indonesia yang terkenal menjadi ulama besar, seperti KH. Kholil Bangkalan dan Syekh Nawawi Banten.
Bahkan belakangan, tiga serangkai itu akhirnya berikrar: jika masing-masing nanti pulang ke tanah air, harus menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, menerjemahkan kitab-kitab agama ke dalam bahasa Jawa (maksudnya Nusantara), bertindak adil, mendirikan lembaga keagamaan, dan mengusir penjajah Belanda. Taklama kemudian beliau menimba ilmu ke Mesir, berguru kepada Syekh Al-Barowi dan Syekh Ibrahim Al-Bajuri, pengarang kitab Fathul Qarib yang terkenal itu.
Pada tahun 1632, ketika usianya sudah 51 tahun, Kiai Rifa’i kembali ke Indonesia dan langsung mengajar di Almamaternya, Pondok Pesantren Kaliwungu, Kendal, . ketika itulah selain mengajar ilmu-ilmu agama, ia juga menyampaikan pentingnya semangat nasionalisme anti penjajah. Ia berhasil menanamkan roh Islam, mengembalikan syariat Islam secara benar dan utuh, terutama untuk membangkitkan semangat nasionalisme.
Akibatnya, ada saja orang yang berkhianat dan melaporkan kegiatannya kepada pemerintah Kolonial Belanda, dengan tuduhan menghasut rakyat untuk membuat kerusuhan. Ia ditangkap dan di introgasi. Akhirnya ia diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman pengasingan. Pada tahun 1838, ia dibuang ke kalisalak, sebuah desa terpencil di Kecamatan Limpung, Batang, namun mujahid yang tak pernah patah arang ini pada tahun 1841 justru membangun sebuah Pesantren Al-Qur’an di kawasan Hutan Belantara itu.
Mula-mula ia mengumpulkan anak-anak kampung untuk diajar ngaji dan belajar fikih. Kadang ia mengajar dengan menggunakan nadham (puisi) dalam bahasa Jawa. Dan ternyata anak-anak tertarik. Akhirnya pesantren baru ini berkembang pesat, lama kelamaan santrinya berdatangan dari berbagai penjuru pulau jawa. Tapi gara-gara aktivitasnya itulah pemerintah Belanda lagi-lagi gerah. Apalagi karena Kiai Rifai tetap saja menggembleng para patriot desa dengan semangat anti penjajah yang kafir.
Ajaran Kiai Rifa’i menitikberatkan pada tiga hal: pertama, Pemerintah kolonial Belanda adalah Kafir, karena menindas rakyat. Kedua, kaum birokrat tradisional merupakan antek Belanda, dan karena itu juga Kafir. Ketiga, praktek beragama tidak boleh bercampur dengan kepercayaan nenek moyang, yang dinilainya sesat dan musyrik. Tentu saja ajaran seperti itu dianggap sangat membahayakan oleh Belanda. Maka pada 15 Mei 1859, ia ditangkap lalu dibuang ke Ambon, maluku. Sepuluh tahun kemudian, 11 Juni 1869, ia meninggal dunia dan di makamkan di Ambon.
Ia adalah ulama sekaligus mujahid, pejuang, ia dicintai dan sangat dekat dengan rakyat, terutama karena mampu mengajar agama dengan bahasa Jawa, campur Sunda, sebagai bahasa perantara. Ia menulis puluhan kitab Agama dalam bahasa Jawa dengan menggunakan huruf Pegon, huruf Arab berbahasa Jawa. Tak kurang dari 55 judul kitabnya, kini masih dibaca oleh para pengikutnya. Kiai Rifa’i menyebut kitab-kitab dalam bahasa Jawa itu sebagai Tarajumah, yang berarti Terjemahan.
Hingga saat ini masih ada beberapa murid Kiai Rifa’i yang melanjutkan dakwah dan perjuangannya. Antara lain, Abdul Aziz (Wonosobo) Ishak (Kendal), Imam Puro (Batang) Abu Salim (Pekalongan) dan masih banyak lagi. Para pengikut Kiai ini membentuk sebuah organisasi yang bernama Rifa’iyah, berpusat di Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah.


Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More